AKU tak
bisa membaca bahasa matamu, namun menikmati debar ini. Menikmati saat bening
matamu memuarakan aliran rindu dari lubuk hati. Sungguh, membuncahlah bahagia
bila menyusupkan pandangan di bola matamu, rasanya jiwa ini rela terperangkap
dalam jejaring cintamu. Aih, inikah sebenar-benarnya jelaga kasih yang selama
ini kudamba dalam kembara penantian?
Saat
ini, tak ada rasa manis selain manisnya cumbu rayumu, tak ada rasa pahit selain
pahitnya bila tak kucecap untaian kata-katamu. Tak ada sebersit keraguan pun
dalam sendi-sendi sanubari bahwa engkaulah bidadari yang dianugerahkan Allah
Swt dalam takdir penghidupan. Sepasang sayapmu telah tanggal di lelangit jiwa
hingga buatku laksana diterbangkan pesona keluhuran perangaimu.
Kini
sampailah aku di dahan keyakinan, bahagiaku karena adamu, dan sempurnamu karena
adaku maka kuingin kita saling melengkapi, saling mengisi cawan kesetiaan
hingga kita teguk air mata bahagia di atas pelaminan asmara atas nama-Nya.
“Dinda
Fatimah Azzahra, maukah engkau menjadi istriku? Telah lama aku meneguh yakin,
Insya Allah membangun mahligai rumah tangga denganmu itu sebenar surga dunia,”
ujarku saat melaksanakan proses ta’aruf di rumah perempuan yang begitu kuharap
dapat menjadi makmumku kelak.
“Sungguh
kanda Arief Siddiq Razaan, sebuah kehormatan terbesar bersebab kakanda
menggumpal niat untuk mempersunting Fatimah menjadi pasangan hidup. Hanya saja,
Fatimah ragu, adakah perasaan kanda itu sebenar ikhtiar cinta berlandaskan
dzikir atau justru sekedar hasrat birahi yang merasuk di dalam pikir?”
“Mengapa terbersit prasangka
seperti itu, dinda Fatimah? Sungguh, kanda begitu kagum dengan matamu yang
indah, tanganmu yang lembut, dan bibirmu yang begitu syahdu melafazkan
ayat-ayat Al Qur’an. Kanda yakin memilikimu ialah penyempurna kehidupan.”
“Inilah
yang Fatimah khawatirkan, sebab kanda Arief menafsirkan rasa kagum sebagai
cinta. Bukankah dalam Hadist Tarmizi diterangkan bahwa Rosullulah telah
bersabda cintailah seseorang itu sewajarnya saja, karena bisa saja suatu saat
nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci.”
“Apa
kaitan hadist tersebut dengan ikhtiar kanda melamar dinda Fatimah?”
“Rasa
kagum kanda Arief terlalu berlebihan, itu tak lebih dari naluri untuk
menguasai, padahal dalam cinta sejati tidak boleh ada hasrat untuk menguasai.
Cinta sejati dimulai dari risalah hati untuk melindungi. Kemudian, jika yang
kanda kagumi ialah mata, tangan dan bibir, saat ini juga Fatimah ikhlas
memberikannya, daripada mata, tangan dan bibir Fatimah meruntuhkan keimanan
kanda Arief, karena Fatimah khawatir jika Allah Swt mengambil seluruh bagian
tubuh yang kanda kagumi dalam diri Fatimah, maka rasa cinta di hati kanda juga
akan musnah. Lalu mewujudlah kebencian dan rasa sesal yang mendalam.”
Aku
terhenyak. Benarkah rasa kagumku yang berlebihan inilah yang menjadi dasar
untuk memburunya? Tiba-tiba kurasa batinku serupa pemburu binatang liar. Astaqfirullahaladzim….
Sungguh, ujaran Fatimah membuatku tersadar bahwa sesungguhnya cinta sejati
tumbuh bukan karena benih kehinaan nafsu birahi dan hasrat ingin menguasai.
“Baiklah dinda Fatimah, biarlah
kanda renungkan segala petuahmu. Sesungguhnya benar adanya, mata hati ini telah
dibutakan dengan elok parasmu, teduhnya mata serta lentiknya jari jemarimu juga
sekatup bibirmu yang syahdu mendendang kalam Ilahi. Setelah kuinsyafi dalam
batin, ketika aku memilihmu menjadi pendamping hidup sesungguhnya itu karena
Allah Swt dan segala yang ada padamu kuterima baik dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Kalau begitu izinkanlah kakanda undur diri, Insya Allah kanda akan
sholat tahajud dan memohon kemantapan hati untuk meneruskan atau memutuskan
ta’aruf ini.”
“Alhamdulillah,
kanda. Memang sebaiknya demikian, semoga Allah Swt memberikan petunjuk-Nya.
Insya Allah kita akan meramu sujud malam ini, di tempat yang berbeda tetapi
tujuan kita sama agar Allah Swt membimbing kita ke dalam teduhnya Al-Fatihah,
dan menunjukkan kita pada jalan lurus untuk menuju gerbang mahligai rumah
tangga.”
Setelah
berucap salam, dengan langkah pasti kutinggalkan rumah perempuan yang kucintai.
Di sepanjang jalan tak henti aku berdzikir sebab hampir saja keimananku runtuh
hanya karena terpesona pada kecantikan seorang wanita. Beruntunglah Allah Swt
masih menegurku lewat Fatimah.
Alangkah
malunya diriku yang telah mengagungkan hawa nafsu atas nama cinta. Setibanya di
kontrakan, langsung kuambil Al-Qur’an, entah mengapa saat membaca surah Yassin
(36:36) yang bermakna “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa-apa yang mereka tidak ketahui,” tangisku pun tumpah. Sungguh ayat ini
semakin membuat dadaku sesak sekali, bersebab kerap kubaca namun tak
kupedomani. Benar adanya, jika ingin menikah maka nikahilah perempuan karena
ikhtiar untuk memuliakan Allah Swt, bukan karena terjerembab pada lumpur
kekaguman fisik yang berujung pada kehinaan jiwa. Akhirnya aku tak sanggup lagi
meneruskan pembacaan Al-Qur’an sebab air mataku terlalu deras hingga membasah
di lembarannya.
Beberapa malam telah terlewat,
namun aku juga belum mampu mengambil keputusan. Hal ini disebabkan aku belum
berani memohon petunjuk karena hatiku masih dikuasai mabuk kasmaran. Tetapi
malam ini, aku menemukan kekuatan untuk memohon ditunjukkan jalan atas ikhtiar
menjadikan Fatimah sebagai pasangan hidup adakah sebenar cinta abadi atau
justru sebuah kemayaan yang dipenuhi nafsu duniawi. Setelah kutunaikan shalat
tahajud, maka diberikanlah aku sebuah kemantapan hati bahwa cintaku padanya
Insya Allah karena dilandasi untuk menuju mahligai rumah tangga yang diridhoi
Ilahi.
Pagi
ini, kusambangi lagi rumah Fatimah. Alhamdulillah perempuan yang telah
meyakinankan hatiku untuk mempersuntingnya hanya karena berharap rahmat Allah
Swt menyambutku dengan ramah. Hanya saja, aku menangkap ada sesuatu keanehan di
bola matanya.. Entahlah, aku tak mampu membaca maknanya apa.
“Dinda
Fatimah Azzahra, maukah engkau menjadi istriku? Kali ini aku sebenar telah
memantapkan hati, juga bermunajat pada ilahi. Insya Allah ikhtiar menikahimu
ialah karena aku sebenar ingin menyempurnakan imanku melalui ikatan pernikahan.
Aku mencintaimu karena Allah.”
Kulihat
matamu berkaca-kaca, aku tak mampu berkata apa-apa, sungguh sejujurnya melihat
gerimis tangis menderaskan hujan air mata di wajahmu membuatku tersiksa. Aku
menangkap bahwa tangismu bukanlah tangis bahagia, tetapi mengapa tidak bahagia?
“Kanda
Arief, sejujurnya Fatimah bahagia mendengar bahwa keputusan kanda Arief untuk
kembali melamar karena didasari niat untuk menyempurnakan iman melalui ikatan
pernikahan. Hanya saja, Allah Swt berkehendak lain.”
“Berkehendak
lain? Apa maksudnya dinda Fatimah?”
“Fatimah
sudah menerima lamaran lelaki lain.”
Hatiku
terasa patah jadi dua. Baru juga beberapa hari yang lalu aku datang, mengapa
kini perempuan yang kukasihi telah menerima lamaran orang lain.
“Siapakah
lelaki yang melamar dinda Fatimah?”
“Namanya Ustad Yahya Syarif
Hidayatullah. Beliau pengasuh pondok pesantren Al-Hasanah, yang terletak di
Bekasi.”
Astaqfirullahaladzim…
Mendengar nama itu jantungku seakan meledak. Pondok pesantren Al-Hasanah di
Bekasi hanya ada satu, di pondok itulah aku menempa ilmu agama semasa kecil
hingga SMA. Barulah saat kuliah meninggalkannya. Saat ini aku melanjutkan
pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan seminggu lagi wisuda. Jujur saja,
niat melamar Fatimah juga untuk kado terindah bagi ayah yang selalu bertanya kapan
aku menikah. Memang saat melamar Fatimah aku belum memohon izin ayah, sebab
ayah juga membebaskanku dalam menentukan pasangan.
“Ya
Allah… Ampunilah hamba-Mu yang tak sanggup menghadapi cobaan-Mu ini.” Tiba-tiba
aku tak mampu membendung suaraku.
“Ini
sudah takdir Allah, relakanlah kanda.”
“Bagaimana
mungkin aku merelakan dinda Fatimah menikah dengan ayah kandungku.”
“A…apa!
Ustad Yahya ayah kandung kanda Arief?”
“Benar,
beliau ayah kandung kanda. Memang beliau telah menduda, semenjak tujuh tahun yang
lalu. Bagaimana bisa adinda Fatimah mengenal ayahku?”
Sejenak
tak ada suara. Kulihat mata Fatimah berkaca-kaca, seolah tengah menahan agar
air mata tak kembali tumpah.
“Ustad
Yahya itu sahabat karib ayahku, sebelum ayahku meninggal tiga setengah tahun yang
lalu. Saat beliau meninggal, beliaulah yang menjadi imam shalat jenazah. Jujur
saja, Fatimah sangat kehilangan sosok ayah, beliau mengajarkan Fatimah ilmu
agama dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Hingga pada akhirnya Fatimah
memohon pada Allah Swt, semoga suatu ketika diberikan jodoh seperti sosok ayah.
Insya Allah, meski bagaimanapun rupa dan usianya jika memang sosok itu mampu
membawa Fatimah menuju surga dengan segenap iman dan takwa, niscaya Fatimah
akan menerimanya. Ternyata dua hari yang lalu, ibu malah menawarkan bagaimana
jika Fatimah dijodohkan dengan Ustad Yahya, lalu Fatimah kaget dan bertanya
jika memang ibu kagum pada ustad Yahya mengapa tidak beliau saja yang menikah
dengannya?”
“Lalu
apa kata ibumu, dinda Fatimah?”
“Ibu berkata bahwa tak akan
pernah ada yang bisa mengantikan posisi almarhum ayah di hatinya. Fatimah tak
mampu lagi berkata apapun. Malam harinya Fatimah memohon petunjuk kepada Allah
Swt, apakah memilih kanda Arief atau ustad Yahya sebagai pendamping hidup
Fatimah, dan ternyata penantian jodoh yang Fatimah harapkan lebih meyakini
bahwa ustad Yahya ialah sebenar lelaki yang mampu membimbing Fatimah menuju
surga Allah Swt di hari kiamat kelak. Hingga akhirnya, kemarin ustad Yahya
datang atas undangan ibu, dan menyampaikan maksud untuk memohon agar sudilah
kiranya beliau menikahiku dan ternyata beliau menyanggupinya.”
“Ayah
kejam! Mengapa beliau tidak mengabarkannya padaku.”
“Ustad
Yahya juga ingin memberikan kejutan pada anaknya, saat anaknya wisuda Minggu
depan beliau ingin memperkenalkanku sebagai calon ibunya. Beliau juga berkata
bahwa anaknya juga ikhlas jika ayahnya menikah lagi, bahkan sebelum almarhumah
istrinya meninggal juga berwasiat agar ustad Yahya menikah lagi serta mencari
perempuan yang mampu mengurusnya, dan Fatimah juga baru tahu sekarang jika
anaknya ternyata dirimu kanda Arief.”
Ayah
tidak berdusta. Memang benar aku mengujarkan itu dan ibu juga berwasiat
demikian. Hanya saja sungguh cobaan ini tetap tak mampu kuterima dengan
nalarku. Hanya saja aku meyakini bahwa inilah jalan yang telah ditetapkan Allah
Swt, dan Fatimah, perempuan yang telah kuyakini menjadi bidadari surgaku kini
akan menjadi ibuku. Tetapi jika memang ayahku ialah penantian suci Fatimah
dalam pendambaanya mendapatkan suami yang mampu membimbing menuju jalan surga
dunia akhirat, sesungguhnya ayahku Insya Allah lelaki yang tepat. Kini, telah
kuputuskan, untuk mengikhlaskan cinta ini dengan derap langkah ketulusan yang
meninggalkan jejak-jejak kesabaran di bumi Allah Swt.
Biarlah
Fatimah menjadi ibuku, sebab entah mengapa segala yang kusuka darinya memang
seperti yang ada pada diri ibuku. Beliau membelaiku dengan jemarinya yang
lembut, menatapku dengan mata teduhnya ketika memberikan petuah, dan dengan
sabarnya mengajariku membaca Al-Qur’an.
“Fatimah,
kanda terima dirimu menjadi ibuku, mohon bimbinglah anakmu menemukan pendamping
hidup seperti yang engkau impikan dalam penantian sucimu.”
By: Arief Siddiq Razaan
Sumber: www.islampos.com
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Penantian Suci. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://darawk.blogspot.com/2015/06/penantian-suci.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Thursday, June 18, 2015
Belum ada komentar untuk "Penantian Suci"
Post a Comment