::selection {background:#F70000; color:#48FB0D;}
----------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------

Penantian Suci



AKU tak bisa membaca bahasa matamu, namun menikmati debar ini. Menikmati saat bening matamu memuarakan aliran rindu dari lubuk hati. Sungguh, membuncahlah bahagia bila menyusupkan pandangan di bola matamu, rasanya jiwa ini rela terperangkap dalam jejaring cintamu. Aih, inikah sebenar-benarnya jelaga kasih yang selama ini kudamba dalam kembara penantian?
Saat ini, tak ada rasa manis selain manisnya cumbu rayumu, tak ada rasa pahit selain pahitnya bila tak kucecap untaian kata-katamu. Tak ada sebersit keraguan pun dalam sendi-sendi sanubari bahwa engkaulah bidadari yang dianugerahkan Allah Swt dalam takdir penghidupan. Sepasang sayapmu telah tanggal di lelangit jiwa hingga buatku laksana diterbangkan pesona keluhuran perangaimu.
Kini sampailah aku di dahan keyakinan, bahagiaku karena adamu, dan sempurnamu karena adaku maka kuingin kita saling melengkapi, saling mengisi cawan kesetiaan hingga kita teguk air mata bahagia di atas pelaminan asmara atas nama-Nya.
“Dinda Fatimah Azzahra, maukah engkau menjadi istriku? Telah lama aku meneguh yakin, Insya Allah membangun mahligai rumah tangga denganmu itu sebenar surga dunia,” ujarku saat melaksanakan proses ta’aruf di rumah perempuan yang begitu kuharap dapat menjadi makmumku kelak.
“Sungguh kanda Arief Siddiq Razaan, sebuah kehormatan terbesar bersebab kakanda menggumpal niat untuk mempersunting Fatimah menjadi pasangan hidup. Hanya saja, Fatimah ragu, adakah perasaan kanda itu sebenar ikhtiar cinta berlandaskan dzikir atau justru sekedar hasrat birahi yang merasuk di dalam pikir?”
“Mengapa terbersit prasangka seperti itu, dinda Fatimah? Sungguh, kanda begitu kagum dengan matamu yang indah, tanganmu yang lembut, dan bibirmu yang begitu syahdu melafazkan ayat-ayat Al Qur’an. Kanda yakin memilikimu ialah penyempurna kehidupan.”
“Inilah yang Fatimah khawatirkan, sebab kanda Arief menafsirkan rasa kagum sebagai cinta. Bukankah dalam Hadist Tarmizi diterangkan bahwa Rosullulah telah bersabda cintailah seseorang itu sewajarnya saja, karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci.”
“Apa kaitan hadist tersebut dengan ikhtiar kanda melamar dinda Fatimah?”
“Rasa kagum kanda Arief terlalu berlebihan, itu tak lebih dari naluri untuk menguasai, padahal dalam cinta sejati tidak boleh ada hasrat untuk menguasai. Cinta sejati dimulai dari risalah hati untuk melindungi. Kemudian, jika yang kanda kagumi ialah mata, tangan dan bibir, saat ini juga Fatimah ikhlas memberikannya, daripada mata, tangan dan bibir Fatimah meruntuhkan keimanan kanda Arief, karena Fatimah khawatir jika Allah Swt mengambil seluruh bagian tubuh yang kanda kagumi dalam diri Fatimah, maka rasa cinta di hati kanda juga akan musnah. Lalu mewujudlah kebencian dan rasa sesal yang mendalam.”
Aku terhenyak. Benarkah rasa kagumku yang berlebihan inilah yang menjadi dasar untuk memburunya? Tiba-tiba kurasa batinku serupa pemburu binatang liar. Astaqfirullahaladzim…. Sungguh, ujaran Fatimah membuatku tersadar bahwa sesungguhnya cinta sejati tumbuh bukan karena benih kehinaan nafsu birahi dan hasrat ingin menguasai.
“Baiklah dinda Fatimah, biarlah kanda renungkan segala petuahmu. Sesungguhnya benar adanya, mata hati ini telah dibutakan dengan elok parasmu, teduhnya mata serta lentiknya jari jemarimu juga sekatup bibirmu yang syahdu mendendang kalam Ilahi. Setelah kuinsyafi dalam batin, ketika aku memilihmu menjadi pendamping hidup sesungguhnya itu karena Allah Swt dan segala yang ada padamu kuterima baik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kalau begitu izinkanlah kakanda undur diri, Insya Allah kanda akan sholat tahajud dan memohon kemantapan hati untuk meneruskan atau memutuskan ta’aruf ini.”
“Alhamdulillah, kanda. Memang sebaiknya demikian, semoga Allah Swt memberikan petunjuk-Nya. Insya Allah kita akan meramu sujud malam ini, di tempat yang berbeda tetapi tujuan kita sama agar Allah Swt membimbing kita ke dalam teduhnya Al-Fatihah, dan menunjukkan kita pada jalan lurus untuk menuju gerbang mahligai rumah tangga.”
Setelah berucap salam, dengan langkah pasti kutinggalkan rumah perempuan yang kucintai. Di sepanjang jalan tak henti aku berdzikir sebab hampir saja keimananku runtuh hanya karena terpesona pada kecantikan seorang wanita. Beruntunglah Allah Swt masih menegurku lewat Fatimah.
Alangkah malunya diriku yang telah mengagungkan hawa nafsu atas nama cinta. Setibanya di kontrakan, langsung kuambil Al-Qur’an, entah mengapa saat membaca surah Yassin (36:36) yang bermakna “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa-apa yang mereka tidak ketahui,” tangisku pun tumpah. Sungguh ayat ini semakin membuat dadaku sesak sekali, bersebab kerap kubaca namun tak kupedomani. Benar adanya, jika ingin menikah maka nikahilah perempuan karena ikhtiar untuk memuliakan Allah Swt, bukan karena terjerembab pada lumpur kekaguman fisik yang berujung pada kehinaan jiwa. Akhirnya aku tak sanggup lagi meneruskan pembacaan Al-Qur’an sebab air mataku terlalu deras hingga membasah di lembarannya.
Beberapa malam telah terlewat, namun aku juga belum mampu mengambil keputusan. Hal ini disebabkan aku belum berani memohon petunjuk karena hatiku masih dikuasai mabuk kasmaran. Tetapi malam ini, aku menemukan kekuatan untuk memohon ditunjukkan jalan atas ikhtiar menjadikan Fatimah sebagai pasangan hidup adakah sebenar cinta abadi atau justru sebuah kemayaan yang dipenuhi nafsu duniawi. Setelah kutunaikan shalat tahajud, maka diberikanlah aku sebuah kemantapan hati bahwa cintaku padanya Insya Allah karena dilandasi untuk menuju mahligai rumah tangga yang diridhoi Ilahi.
Pagi ini, kusambangi lagi rumah Fatimah. Alhamdulillah perempuan yang telah meyakinankan hatiku untuk mempersuntingnya hanya karena berharap rahmat Allah Swt menyambutku dengan ramah. Hanya saja, aku menangkap ada sesuatu keanehan di bola matanya.. Entahlah, aku tak mampu membaca maknanya apa.
“Dinda Fatimah Azzahra, maukah engkau menjadi istriku? Kali ini aku sebenar telah memantapkan hati, juga bermunajat pada ilahi. Insya Allah ikhtiar menikahimu ialah karena aku sebenar ingin menyempurnakan imanku melalui ikatan pernikahan. Aku mencintaimu karena Allah.”
Kulihat matamu berkaca-kaca, aku tak mampu berkata apa-apa, sungguh sejujurnya melihat gerimis tangis menderaskan hujan air mata di wajahmu membuatku tersiksa. Aku menangkap bahwa tangismu bukanlah tangis bahagia, tetapi mengapa tidak bahagia?
“Kanda Arief, sejujurnya Fatimah bahagia mendengar bahwa keputusan kanda Arief untuk kembali melamar karena didasari niat untuk menyempurnakan iman melalui ikatan pernikahan. Hanya saja, Allah Swt berkehendak lain.”
“Berkehendak lain? Apa maksudnya dinda Fatimah?”
“Fatimah sudah menerima lamaran lelaki lain.”
Hatiku terasa patah jadi dua. Baru juga beberapa hari yang lalu aku datang, mengapa kini perempuan yang kukasihi telah menerima lamaran orang lain.
“Siapakah lelaki yang melamar dinda Fatimah?”
“Namanya Ustad Yahya Syarif Hidayatullah. Beliau pengasuh pondok pesantren Al-Hasanah, yang terletak di Bekasi.”
Astaqfirullahaladzim… Mendengar nama itu jantungku seakan meledak. Pondok pesantren Al-Hasanah di Bekasi hanya ada satu, di pondok itulah aku menempa ilmu agama semasa kecil hingga SMA. Barulah saat kuliah meninggalkannya. Saat ini aku melanjutkan pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan seminggu lagi wisuda. Jujur saja, niat melamar Fatimah juga untuk kado terindah bagi ayah yang selalu bertanya kapan aku menikah. Memang saat melamar Fatimah aku belum memohon izin ayah, sebab ayah juga membebaskanku dalam menentukan pasangan.
“Ya Allah… Ampunilah hamba-Mu yang tak sanggup menghadapi cobaan-Mu ini.” Tiba-tiba aku tak mampu membendung suaraku.
“Ini sudah takdir Allah, relakanlah kanda.”
“Bagaimana mungkin aku merelakan dinda Fatimah menikah dengan ayah kandungku.”
“A…apa! Ustad Yahya ayah kandung kanda Arief?”
“Benar, beliau ayah kandung kanda. Memang beliau telah menduda, semenjak tujuh tahun yang lalu. Bagaimana bisa adinda Fatimah mengenal ayahku?”
Sejenak tak ada suara. Kulihat mata Fatimah berkaca-kaca, seolah tengah menahan agar air mata tak kembali tumpah.
“Ustad Yahya itu sahabat karib ayahku, sebelum ayahku meninggal tiga setengah tahun yang lalu. Saat beliau meninggal, beliaulah yang menjadi imam shalat jenazah. Jujur saja, Fatimah sangat kehilangan sosok ayah, beliau mengajarkan Fatimah ilmu agama dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Hingga pada akhirnya Fatimah memohon pada Allah Swt, semoga suatu ketika diberikan jodoh seperti sosok ayah. Insya Allah, meski bagaimanapun rupa dan usianya jika memang sosok itu mampu membawa Fatimah menuju surga dengan segenap iman dan takwa, niscaya Fatimah akan menerimanya. Ternyata dua hari yang lalu, ibu malah menawarkan bagaimana jika Fatimah dijodohkan dengan Ustad Yahya, lalu Fatimah kaget dan bertanya jika memang ibu kagum pada ustad Yahya mengapa tidak beliau saja yang menikah dengannya?”
“Lalu apa kata ibumu, dinda Fatimah?”
“Ibu berkata bahwa tak akan pernah ada yang bisa mengantikan posisi almarhum ayah di hatinya. Fatimah tak mampu lagi berkata apapun. Malam harinya Fatimah memohon petunjuk kepada Allah Swt, apakah memilih kanda Arief atau ustad Yahya sebagai pendamping hidup Fatimah, dan ternyata penantian jodoh yang Fatimah harapkan lebih meyakini bahwa ustad Yahya ialah sebenar lelaki yang mampu membimbing Fatimah menuju surga Allah Swt di hari kiamat kelak. Hingga akhirnya, kemarin ustad Yahya datang atas undangan ibu, dan menyampaikan maksud untuk memohon agar sudilah kiranya beliau menikahiku dan ternyata beliau menyanggupinya.”
“Ayah kejam! Mengapa beliau tidak mengabarkannya padaku.”
“Ustad Yahya juga ingin memberikan kejutan pada anaknya, saat anaknya wisuda Minggu depan beliau ingin memperkenalkanku sebagai calon ibunya. Beliau juga berkata bahwa anaknya juga ikhlas jika ayahnya menikah lagi, bahkan sebelum almarhumah istrinya meninggal juga berwasiat agar ustad Yahya menikah lagi serta mencari perempuan yang mampu mengurusnya, dan Fatimah juga baru tahu sekarang jika anaknya ternyata dirimu kanda Arief.”
Ayah tidak berdusta. Memang benar aku mengujarkan itu dan ibu juga berwasiat demikian. Hanya saja sungguh cobaan ini tetap tak mampu kuterima dengan nalarku. Hanya saja aku meyakini bahwa inilah jalan yang telah ditetapkan Allah Swt, dan Fatimah, perempuan yang telah kuyakini menjadi bidadari surgaku kini akan menjadi ibuku. Tetapi jika memang ayahku ialah penantian suci Fatimah dalam pendambaanya mendapatkan suami yang mampu membimbing menuju jalan surga dunia akhirat, sesungguhnya ayahku Insya Allah lelaki yang tepat. Kini, telah kuputuskan, untuk mengikhlaskan cinta ini dengan derap langkah ketulusan yang meninggalkan jejak-jejak kesabaran di bumi Allah Swt.
Biarlah Fatimah menjadi ibuku, sebab entah mengapa segala yang kusuka darinya memang seperti yang ada pada diri ibuku. Beliau membelaiku dengan jemarinya yang lembut, menatapku dengan mata teduhnya ketika memberikan petuah, dan dengan sabarnya mengajariku membaca Al-Qur’an.
“Fatimah, kanda terima dirimu menjadi ibuku, mohon bimbinglah anakmu menemukan pendamping hidup seperti yang engkau impikan dalam penantian sucimu.”


By: Arief Siddiq Razaan
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Penantian Suci. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://darawk.blogspot.com/2015/06/penantian-suci.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Thursday, June 18, 2015

Belum ada komentar untuk "Penantian Suci"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.