Di sebuah bukit di Inggris tumbuh tiga pohon besar. Pohon-pohon itu telah berumur ratusan tahun. Tak seorang pun tahu secara pasti berapa umur pohon-pohon itu.
Petani pemilik bukit itu menganggap ketiga pohon tersebut ada dalam penjagaannya sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah merasa menjadi penguasa lingkungan. Ia hanya merasa harus selalu menjaga kelestarian lingkungannya.
“Lingkungan ini adalah tanggung jawabku,” katanya.
“Selama hidupku aku akan menjaganya sekuat tenaga. Seperti yang dilakukan sebelumbya oleh ayahku dan seperti yang dilakukan sebelumnya lagi oleh kakekku. Dan setelah aku mati, anak-anakku akan merawat lingkungan ini.”
Keluarga itu mempunyai kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Setiap tahun pada malam pertengahan musim panas, kepala keluarga mendaki bukit sambil membawa segenggam bunga mawar yang diambil dari kebun. Ia menanam beberapa bunga di bawah ketiga pohon besar. Petani itu melakukannya setiap tahun. Demikian pula oleh ayahnya dan kakeknya. Hal itu telah menjadi tradisi keluarga.
Menjelang ajalnya, petani itu berkata kepada anak-anaknya.
“Jangan lupa menjaga lingkungan kita dengan baik. Sekarang kalianla yang wajib menjaganya seperti yang telah kulakukan sepanjang hidupku. Dan jangan lupa untuk menanam segenggam bunga mawar di bawah Tiga Pohon Besar pada malam pertengahan musim panas.”
Ketika petani itu meninggal, anak sulung mewarisi sebagian besar tanahnya. Ia mendapatkan lading pertanian yang luas dan bukit dengan Tiga Pohon Besar. Anak kedua mendapatkan sebidang tanah yang lebih sempit. Sementara anak bungsu hanya menerima sebidang tanah sempit yang berbatu-batu dibelakang bukit.
Segera setelah si sulung mewarisi tanah itu, ia mulai membual.
“Aku MEMILIKI semua tanah ini! Lihatlah apa yang KUMILIKI. Aku bisa melakukan apa saja terhadap milikku.”
Ia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk melestarikan lingkungannya.
Dan pada malam pertengahan musim panas sisulung tidak pergi ke bukit untuk menanam bunga mawar dibawah Tiga Pohon Besar.
“Itu kepercayaan kuno, kebiasaan kuno itu harus dikubur bersama ayahku.”
Namun sibungsu tetap mengingatnya. Ia membawa tiga karangan bunga mawar dan mendaki bukit, ia menanamnya dibawah Tiga Pohon Besar. Kemudian ia duduk sebentar dibawah rindangnya Tiga Pohon Besar. Ia merasa sangat nyaman duduk dibawah poon-pohon yang telah sangat tua itu.
Ketika ia menuruni bukit, si sulung sudah menunggunya.
“Apa yang kau lakukan diatas bukit milikku?”
“Aku menanam bunga mawar untuk ketiga pohon besar, seperti yang diperintahkan oleh ayah kita.”
“Baiklah, tapi pohon-pohon besar itu MILIKKU. Aku tidak suka kamu menginjakkan kaki diatas tanah milikku!”
“Tapi aku sangat senang duduk dibawah rindangnya ketiga pohon besar itu.”
“Kamu tidak akan duduk disana lagi. Karena dua hari lagi tidak aka nada tiga pohon disana. Hanya akan ada dua pohon. Karena aku akan menebang salah satunya untuk membuat kandang.”
Dan hari berikutnya …
Tepat pada pertengahan musim panas. Si sulung mendaki bukit sambil membawa kapak.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Pokok pohon itu.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Pokok pohon itu.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Menebang pokok pohon itu.
Dan menjelang senja pohon itu mulai tumbang. Tapi saat pohon itu tumbang ke tanah, pohon itu menjerit. Dan bertiuplah angin entah berasal dari mana memutari pohon itu disekitar akar. Dan tumbanglah pohon itu … menimpa si sulung. Dan si sulung mati seketika.
Segera para pembantu datang dan membawa pergi mayat si sulung. Lalu mereka menggergaji pohon itu untuk dijadikan papan dan membawa pergi potongan-potongan pohon itu.
Tak lama kemudian, anak kedua mewarisi tanah si sulung. Semua tanah sisulung menjadi miliknya. Demikian pula dengan dua pohon besar yang masih tersisa. Namun seperti halnya kakaknya, ia pun mulai membual …
“Semua ini MILIKKU! Semua kekayaan ini … sekarang jadi MILIKKU! Aku bisa melakukan apa saja terhadap MILIKKU.”
Ia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk menjaga lingkungannya.
Pada tahun berikutnya, tepat pada malam pertengahan musim panas, si bungsu membawa bunga mawar lagi dan mendaki bukit menuju Dua Pohon Besar. Ia menanam bunga-bunga itu dibawah dua poon besar, dan duduk sebentar dibawah rindangnya kedua pohon besar, menikmati kehadiran pohon-pohon yang sangat tua itu.
Namun, ketika menuruni bukit, kakaknya telah menunggunya.
“Apa yang kau lakukan di atas bukit MILIKKU?”
“Aku membawa bunga mawar untuk Dua Pohon Besar, seperti yang dilakukan oleh ayah kita, kakek kita, dan kakek buyut kita.”
“Baiklah, tapi nsekarang kedua pohon besar itu MILIKKU. Jadi, jauhilah segala MILIKKU.”
“Tapi aku sangat senang duduk dibawah rindangnya dua pohon tua itu.”
“Dua hari lagi tidak akan ada dua pohon besar disana. Aku akan menebang salah satunya untuk kujadikan pagar.”
Dan hari berikutnya …
Tepat pada pertengahan musim panas. Anak kedua mendaki bukit sambil membawa kapaknya.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Pokok pohon itu.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Pokok pohon itu.
Dan ia menebang
Terus menebang
Dan terus menebang
Menebang pokok pohon itu.
Dan menjelang senja pohon itu mulai tumbang. Tapi saat pohon itu tumbang ke tanah, pohon itu menjerit. Dan bertiuplah angin entah berasal dari mana memutari pohon itu disekitar akar. Dan tumbanglah pohon itu … menimpa kakak kadua. Dan kakak kedua mati seketika.
Segera para pembantu datang dan membawa pergi mayat si sulung. Lalu mereka menggergaji pohon itu untuk dijadikan pagar dan membawa pergi potongan-potongan pohon itu.
Sekarang sibungsu mewarisi semua tanah. Ia memandang tanah disekelilingnya dan berkata,
“Mulai sekarang aku akan menjagamu, seperti yang telah dilakukan oleh ayahku dan juga yang telah dilakukan oleh kakeku dan kelak anak-anakku … juga akan ikut menjagamu.”
Dan begitulah yang ia lakukan. Ia mengolah tanahnya dengan baik dan suburlah tanah itu. Dan pada setiap petang, ia mendaki bukit dan duduk sebentar dibawah rindangnya Pohon Besar satu-satunya.
Ketika ia mati, anak-anaknya meneruskan tugasnya. Demikian pula dengan cucu-cucunya. Kini Pohon Besar itu masih tegak berdiri di tempatnya, sendirian di suatu puncak bukit di Inggris.
Tapi aku khawatir jika suatu hari nanti datang seorang anak muda kebukit itu. Ia membawa kapak dan mendaki hingga kepuncak bukit lalu ia berkata,
“Semua ini adalah MILIKKU. Aku MEMILIKINYA. Aku dapat melakukan apapun yang kusuka terhadap MILIKKU.”
Lalu ia mulai menebang …
Terus menebang …
Dan terus menebang …
Pokok satu-satunya Pohon Besar yang masih tersisa.
-Cerita rakyat dari Derbyshire, Inggris-
Unknown