::selection {background:#F70000; color:#48FB0D;}
----------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------
Monday, November 28, 2016

Pesan Cinta untuk Pegiat Gunung

Jauh sebelum Anthoni de Vila (1495) menggapai mount Aiguilla (2097 mdpl), Yan Cartenz (1623) menaklukkan gugusan salju di pegunungan Irian Jaya, kemudian dinobatkan namanya sebagai puncak tersebut, Cartensz. Atau, Sir Edmund Hillary dan Sharpa Tenzing Norgay, menggapai puncak Everest (8840 mdpl) di Nepal. Kisaran abad ke-6 M di semenanjung Arabia, Khadijah perempuan agung bersama suaminya Muhammad bin Abdullah, telah menapak gunung Hira. Konon, pada masa itu, di kota Mekkah ada semacam tradisi tahanust yang dilakon oleh para tetua. Tahanust adalah sejenis ibadah yang bertujuan menjauhkan diri dari dosa dan keramaian.
Kecintaan Khadijah terhadap gunung Hira, Sebagaimana ungkapannya, “Bagiku gunung merupakan tempat terbebas dan lepas dari beban kehidupan. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan gelombang-gelombang kekerasan dunia serta dekat dengan langit.” Kecintaan Khadijah terhadap pendakian gunung semenjak bersama suaminya bolak-balik menghantar makanan kepada orang-orang yang tengah menjalani ibadah tahanust. Selain itu, Khadijah menemukan bahasa yang sebelumnya tidak terpikir olehnya, sembari saya mengutip ditulis Sibal Eraslan dalam Col ven Denzi, “Kekuatan hati dan cinta menjauhkan dari bahasa dan bicara. Kehidupan saling terbuka secara langsung. Merasakan cinta tanpa perlu ada tanggung jawab atas kata, beban kalimat dan rangkaian huruf. Gunung Hira mengajarkan sesuatu yang berbeda tentang cinta. Merasakan dari pada mendengarkan.”
Khadijah telah menemukan hakikat dari pendakian gunung, sebuah perjalanan yang tak hanya menaklukkan ketinggian gunung, akan tetapi sebuah perjalanan sejati yang menaklukkan diri sendiri. “Di balik tampilan yang keras itu, gunung hanya bisa ditaklukkan oleh orang-orang yang memiliki kesabaran. Dari Hira lah, tumbuh kecintaanku pada ibadah, berdoa, dan tafakur.”
Pendakian gunung tidak hanya meningkatkan makam spiritual saja, sebagaimana dilakoni oleh Khadijah. Belakangan, pendakian gunung muncul dengan bermacam motivasi dan orientasi. Ketika kita menelisik lebih jauh lagi, pendakian gunung juga dapat menumbuhkan rasa nasionalisme, sebagaimana yang dilakoni oleh Soe Hoe Gie. Soe Hok Gie (1942-1964) mahasiswa sastra UI. Tampil dengan MAPALA (mahasiswa pencinta alam) sebagai propaganda mengembalikan idealisme mahasiswa yang terhegomoni politik praktis, di mana terjadi pembekuan terhadap perhimpunan, pembekuan Dewan Mahasiswa (DEMA) serta berlakunya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Soe Hok Gie adalah Sosok visioner, militansi, kritis, dan idealis. Memandang rezim Orde Lama adalah sebuah rezim yang menyuarakan demokratisasi, tapi di lain sisi momotong lidah-lidah rakyat. Dengan sinis, ia bergumam bahwa, keadilan dan kebenaran hanya ada di langit, radio masih saja mendongeng tentang kebohongan dan kepalsuan. Soe Hok Gie, menulis dalam catatan hariannya, yang kemudian hari di terbitkan oleh LP3ES, pada tanggal 1 Mei 1983 setelah dua puluh tahun kematiannya. “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai Tanah Air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Seperti itulah alasan Soe Hok Gie mendaki gunung, dan di sana pula menuai ajalnya, tepat pada tanggal 16 Desember 1969 akibat menghirup racun vulkanik gunung Mahameru.
Menelisik hakikat pendakian gunung dari Khadijah adalah spiritual sedangkan Soe Hok Gie adalah nasionalisme. Lantas, bagaimana dengan para pegiat belakangan? Krisis spiritual melonjak pada krisis nasionalisme. Lihat saja hutan semakin ludes, sampah banjir sana-sini,  pun gunung plontas menuai kepunahan.
Hari ini, aktivitas pendakian gunung mengepung setiap tongkrongan; kantin, base camp, community, dan media sosial. Dengan kebanggaan diri telah mencaplok puluhan puncak gunung. Namun mereka tidak menyadari bahwa semakin besar pendakian, semakin besar pula kerusakan gunung dan hutan. Motivasi spiritual dan nasionalisme, tidak lagi kita jumpai pada para pegiat belakang. Semoga kelak para pegiat membenarkan ucapan Harley Bayu Sasta, dalam Tarian Sang Kembara-nya. “Karena di sanalah dapat kami kenali keramahan saudara-saudara kami. Karena di sana dapat kami resapi tekad kuat masyarakat negeri ini. Bagi kami mengenal bumi pertiwi harus dekat dengan alamnya, bagi kami mencintai nusantara harus kenal dengan masyarakatnya, bagi kami berbuat dan berkarya dengan kemampuan diri, itulah membangun negeri.”
Catatan: Tulisan ini, dipublikasikan koran @Identitasunhas. Edisi, 16 April 2016

Sumber: kompasiana.com




Unknown

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.